Menelusuri dunia Baca-Tulis lintas memori; Tinjauan Pengalaman Empiris Pribadi

Literacy Narrative

Oleh: Siti Maisaroh

Awal kali saya mengenal dunia membaca adalah saat duduk di bangku Sekolah Dasar (sekitar kelas 4 SD). Adapun pelajaran sekolah yang berperan besar dalam menstimulasi minat baca saya adalah pelajaran bahasa Indonesia. Tak lain, karena di buku Bahasa Indonesia tentu ada cerita-cerita unik dan menarik, mengajak saya untuk melatih daya khayal atau daya imajinasi yang kuat.

Diawali suka membaca buku pelajaran bahasa Indonesia, rasa hausku pada membaca semakin bertambah saat perpustakaan sekolah mulai dibuka. Saat itu, sekitar kelas empat SD, perpustakaan di sekolah saya baru rampung pembangunannya. Perpustakaan sekolah saya ada di ruang pojok sekolah. Segera, Saat istirahat, saya sering menyempatkan diri membaca buku-buku cerita di perpustakaan. Buku yang sangat menarik bagi saya kala itu yang hingga saya meminjam dan membawanya pulang ke rumah adalah buku cerita berjudul “si Kancil yang Cerdik”. Senang sekali membaca buku cerita ini. Saya membacanya berulang-ulang, hingga buku tersebut menjadi leccek (sedikit rusak dan tidak seperti baru lagi). Membaca buku cerita berarti ikut memancing kekuatan berimajinasi -menurut saya-. Tak jarang saya tertawa sendiri saat membaca, sembari  sesekali saya menceritakan ulang kisah kancil bersama teman-teman binatang lainnya ini ke ibu saya, dan kamipun tertawa bersama J.

Bagai dua sisi mata uang,  kegiatan baca-tulis adalah keterampilan yang selayaknya selalu menyatu-padu tak boleh terpisahkan, begitu prinsip yang sekarang saya kenal. Namun sayang sekali, perkenalan saya dengan dunia tulisan tertinggal jauh dari perkenalan saya dengan dunia baca, sekitar selisih 10 tahun lamanya.

Adapun awal kali saya  mengenal dunia tulisan adalah sewaktu saya sudah duduk di bangku kuliah (sekitar umur 19-an). Rupanya, pengenalan saya pada dunia tulis-menulis sejajar atau berbanding lurus dengan perkenalan saya pada dunia teknologi. Ya..karena masa-masa Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas saya dihabiskan di pondok pesantren Modern di Jawa, yang belum terlalu banyak  menawarkan peluang menulis dan menggunakan teknologi ke saya, selain saya lebih banyak menerjunkan diri di pentas oral (pidato) kala itu, dan penguasaan bahasa asing, bahasa Arab dan bahasa Inggris.

Kebetulan, saya kuliah di salah satu Negeri Timur-Tengah yang terbilang memiliki integritas keilmuan yang tinggi di Manca Negara, ialah Negara Mesir. Saat itu saya dititipkan kakak saya ke temannya, yang rupanya teman kakak saya ini adalah pegiat kajian keilmuan yang akrab dengan dunia baca-tulis.

Seiring seringnya berinteraksi, maka kebiasaan dan aktifitas kakak itu turut menular positif pada saya. Diawali dengan sering memberikan saya karya tulisannya berupa artikel ilmiah, dan rupanya artikel tersebut banyak memancing serta mengasah  daya nalar saya, maka  yang sebelumnya saya suka membaca buku cerita, drastis semenjak dikenali artikel-artikel ilmiah (seperti opini dan kolom) maka saya menjadi hijrah ke bacaan yang ilmiah. Tak hanya itu, selain suka mengirim bacaan-bacaan ilmiah, kakak kelas saya ini sering mensupport saya untuk menulis di bulletin mahasiswa. Dia menyuruh saya membuat coretan-coretan bebas dulu, kemudian dia bagian editor dan pelengkap tulisan saya yang masih “gado-gado” itu..hehe. setelah mencoba menulis di suatu bulletin, saya pun diikut sertakan lomba kepenulisan ilmiah antar mahasiswa. Spontan saja saya ikut, karena saya sudah memiliki editor pribadi –menurut saya..hehe- dan rupanya masuk juara II –tentunya bukan orisinil tulisan saya, tapi lebih banyak sumbangan tulisan kakak kelas saya ini-.

Selanjutnya, saya mulai suka menulis, hingga kakak kelas saya ini membuatkan blog dengan alamat situs nama saya, supaya saya lebih rajin menulis.  Hanya saja,  saya lebih banyak menulis refleksi harian daripada artikel ilmiah. Ketika menulis artikel ilmiah, saya merasa kesulitan memakai bahasa ilmiah. Terkadang saya merasa terlalu “silau” dengan bahasa ilmiah, hingga pernah sering banyak memakai bahasa ilmiah membuat saya ditertawakan teman pembaca. Tak hanya itu, ketika hendak menulis artikel ilmiah, saya merasa takut dan kaku, merasa kurang percaya diri dengan literature bacaan saya, yang selalu saya anggap belum terbilang representatif untuk menjadi bahan informasi pembaca -begitu yang saya rasakan- yang menghambat mengalirnya seni keterampilan menulis dalam jiwa saya.

 

Saya belajar membaca adalah dengan banyak membaca. Buku bacaan saya lebih banyak berkonsentrasi pada buku kajian keilmuan Islam, seperti sejarah peradaban Islam, pemikiran Islam, biografi para tokoh ilmuwan Muslim, juga ilmu linguistic bahasa Arab.

 

Sekitar lima tahun terakhir ini saya merasa “sedikit membaca” dibanding saat kuliah jenjang s1 dulu. Selain kesibukan keluarga juga  kesibukan organisasi di Kampus yang kebetulan saya diamanahi jabatan sebagai Sekretaris Prodi, sehingga waktu luang saya lebih banyak terkuras pada kegiatan administrasi kampus. Namun sejak setahun belakang ini, rasanya “gairah membaca” saya mulai menyeruak kembali ke permukaan J. Lebih tepatnya, permukaan pikiran saya .

Selanjutnya, saya belajar menulis dengan menulis refleksi harian, seperti Diary atau Catatan kecil. Terkadang makalah ilmiah, meskipun sajian pembahasannya  belum terlalu matang.

 

Seperti halnya fenomena  membaca yang dipaparkan diatas, kegiatan menulis saya juga telah banyak “terkubur” seiring lulus dari strata 1. Dan rasa mulai ingin menulis lagi sejak tuntutan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang baru saya kenal dalam setahun terakhir ini, yang didalamnya ada tuntutan menulis dan meneliti.

 

Adapun Saya belajar  teknologi dengan banyak membuka situs-situs di internet dan aktif di media social seperti blog, Facebook, WA, instagram dan lain-lain.

 

Saya dapat mengidentifikasi nilai-nilai spiritual, budaya, social dan akademik dalam kegiatan  membaca,  menulis dan menggunakan teknologi.

Dalam nilai spiritual misalnya,  saya dapat menemukan banyak guru spiritual lintas sejarah dengan menelusuri dan membaca aneka karya tulis tokoh-tokoh agama dan ilmuwan muslim terkemuka. Dalam nilai budaya, dengan banyak membaca, saya dapat mengenal budaya bangsa lain, sehingga membentuk jiwa adaptif dan toleransi tersendiri dalam jiwa pembaca seperti saya, dan lain sebagainya.

Adapun jenis bacaan konsumsi saya saat di  masa Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas adalah jenis bacaan fiktif, seperti; cerita dongeng rakyat, Cerpen, Novel  dan lain-lain. Maka saat kecil dulu, saya paling suka berlangganan majalah BoBo, Lupus, Kuncup, majalah remaja seperti Annida, dan lain sebagainya.

Sedangkan jenis bacaan saya setelah duduk di bangku perkuliahan hingga sekarang yang saya menggeluti profesi sebagai staff pengajar Perguruan Tinggi adalah artikel ilmiah, jurnal penelitian  dan sejenisnya.

 

Menurutku, dalam konteks pendidikan, kegiatan baca-tulis adalah tak ubahnya jantung pendidikan. Tanpa ada kegiatan literasi di dunia pendidikan, maka pendidikan itu secara otomatis sedang “mati” tak berfungsi.

Sedang dakam konteks peradaban, baca-tulis adalah ujung tombak penembus peradaban manusia. Tanpanya, tidak akan ada kehidupan berarti di muka Bumi ini.

 

Seperti contoh bangsa Arab,  sebuah bangsa yang tertinggal puluhan abad dari bangsa latin dalam mengenal tulisan, berpuluhan abad hanya mengandalkan keterampilan oral (lisan) dan hafalan ini terbilang terkubur masa dan eksklusif, hingga tidak ada nuansa saling sapa antar bangsa yang berdekatan sekalipun. Namun, sejak datangnya Wahyu Ilahi dari salah satu anak bangsa Arab, yang bernama Nabi Muhammad SAW, dengan wahyu pertama kalimat “ Iqra’” (artinya: bacalah), maka mellek lah bangsa Arab yang sebelumnya sedang dinina-bobokkan oleh tradisi eksklusifnya itu. Oleh karena itu, datangnya agama Islam sejatinya Rahmatan lil ‘alamin dalam cakupan yang sangat luas.

 

Sejak turunnya wahyu agama di masa kenabian (tahun 611 Masehi) diikuti banyaknya sabda Rasul yang diimani sebagai sebuah pesan suci agam Islam, hingga akhirnya bangsa Arab memburu menemu-kenal dunia tulis-menulis dan beralih dari pandangan eksklusif ke inklusif dengan interaksi mereka bersama bangsa lain, yang diantaranya adalah bangsa Persia dan lain-lain. Maka dengan senjata baca-tulis tersebut, disumberi dari wahyu Ilahi berupa Al-Qur’an dan Hadits Nabi, muncullah banyak disiplin keilmuan Islam, seperti; Ilmu gramatika Arab, ilmu Tafsir, ilmu Hadits, ilmu kalam, ilmu Tasawuf, ilmu Fiqh, ilmu Filsafat Islam dan lain sebagainya. Mambanjirnya disiplin keilmuan Islam ini tepat setelah satu abad lebih dari turunnya ayat “Iqra” sebagai perintah Tuhan untuk mengenal budaya baca-tulis yang sejatinya ampuh mendongkrak peradaban ummat manusia ini. Sehingga masa-masa membludaknya keilmuan ini sejarah menyebutnya  sebagai Golden Age of Islam, tepatnya tahun 750 Masehi di masa khalifah Harun al-Rasyid, seorang raja khilafah Islam yang sangat antusias pada semua program berbau keilmuan.

Ada suatu moment yang pernah membuat saya sangat frustasi dalam dunia baca-tulis-teknologi. Ialah saat saya belajar di program magister, saat baru mengenal dunia penelitian.

Perlu diketahui, Saat duduk di program sarjana di negeri Arab yang tidak dituntut penulisan karya ilmiah akademik (skripsi) tersebut, saya hanya menggeluti kepenulisan yang bersifat reflektif,  argumentatif dan  kritik sosial berupa opini dan lain-lain. Namun, setelah duduk di program Magister, dunia penelitian mulai saya geluti. Spontan, ini hal yang sangat baru bagi saya. Saya katakana baru, karena ini awal kali saya harus berkenalan dengan apa yang dikatakan “metodologi”. Saat itu, saya langsung teringat kalimat pak Abudin Nata saat berkunjung ke Mesir dulu dan mengisi salah satu acara Dialog dengan mahasiswa, beliau berkata, “perbedaan mencolok antara lulusan Timur tengah dan Barat (dalam hal ini Negara Indonesia masuk kategori Barat) adalah pada penguasaan materi dan metodologi. Alumni Timur tengah lebih kaya materi, tapi miskin metodologi. Sebaliknya alumni Barat, yang banyak pakar metodologi.

Maka, masih kosongnya ilmu metodologi, membuat saya frustasi berat dengan dunia penulisan. Dan saya belajar metodologi dengan banyak mengikuti workshop, belajar otodidak, sambil lalu masih sedikit-demi sedikit menggali informasi dari tokoh-tokoh yang mumpuni.

 

Institusi yang saya mengajar dan mengabdi didalamnya pada mulanya mensupport para dosen tetap dan memiliki NIDN untuk aktif dalam dunia baca-tulis-teknologi dengan pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat. Maka pada mulanya, Institusi mensupport para dosen tetap dengan mengikuti workshop dan konferensi nasional maupun internasional.

 

Saya tidak terlalu banyak menikmati kegiatan baca-tulis di masa lalu. Karena menurut saya, saya hanya belajar dengan cara “membaca” dan mengamati saja, tapi belum pernah mengikuti sekolah menulis dan jurnalistik secara formal.

Saya tidak pernah mendapatkan apapun tentang reward and punishement dalam asosiasi penulis apapun dan manapun. Karena saya belum pernah masuk dalam keanggotaan suatu asosiasi kepenulisan. Saya hanya menulis bebas, terkadang menjadi contributor dalam jurnal dan bulletin, hanya sebagai penulis bebas. Pernah juga saya ikut lomba menulis kolom bahasa Arab, dan mendapatkan juara ke dua. Prestasi ini adalah support utama saya berlatih menulis dengan cara trial and error tanpa ada pengawasan suatu asosiasi dan lain-lain.

Saya kira, masa lalu saya melatih saya membaca-menulis hingga saya menjadi penulis –masih sederhana- saat ini adalah karena masa lalu saya mendidik saya dengan “cinta membaca”. Semakin saya membaca, semakin banyak gagasan menari-nari di otak, dan jika tak tertuangkan dalam tulisan, maka menyesak dan meluap. Dengan itulah, seeiring membaca, saya juga melatih diri merefleksikan bacaan saya dalam karya tulis.

 

Memori masa lalu (saat di bangku kuliah strata 1) yang masuk kategori “empowering” bagi saya adalah nuansa keilmuan yang kental. Forum kajian keilmuan yang tak terhitung jumlahnya, membuat daya analisis, daya nalar dan berlogika mahasiswa semakin terasah. Tak hanya itu, dengan biasa mengkaji buku, maka keterampilan menulis dan mengembangkan tulisan juga semakin meningkat, seiring jenis atau genre buku yang dibaca.

 

Demikian selayang pandang pertemu-kenalan saya dengan dunia Baca-Tulis dan media teknologi serta kisah pergelutan saya didalamnya. Bagaimanapun, sebanyak konsumsi bacaan yang ditelan (masuk ke pikiran), selama tidak diejawantahkan dalam tulisan, maka rasanya bacaan tadi hanya melintas saja, kurang melekat di benak pikiran. Maka, saya akan terus menulis –insya Allah-.  Seperti yang saya tulis sekarang ini, saya sangat merasakan betapa menulis itu ternyata mudah –insya Allah- karena saya menulis dengan fun atas bimbingan salah satu  tokoh literasi Indonesia, Bapak Drs. Much Khoiri,M.Si.  Jazakumullah Khairan J

 

 

 


Leave a comment